Unmet Need, PR Berat Sultra

  • Bagikan

Oleh: Dr.H.Mustakim,M.Si *)

Belum lama ini Perwakilan BKKBN Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mengadakan RapatKerja Daerah (Rakerda) tahun 2023 di Hotel Terbesar di Kota Kendari, Claro. Rapat tersebut tidak tanggung-tanggung dihadiri Wakil Gubernur Sultra Dr. H. Lukman Abu Nawas, SH, MH juga Pembina Wilayah Sultradari BKKBN Pusat yakni Deputi Lalitbang Prof. Rizal MartuaDamanik, PhD.

Kegiatan rakerda tergolong sukses, namun dari hasil pemaparan Evaluasi Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (BanggaKencana) ada satu program yang dari tahun ketahun nampak sedikit susah untuk diturunkan.

Kalaupun turun kurang sifnifikan yakni data parameter kependudukan tentang Unmet Need atau peserta KB yang tidak terlayani. Secara luas makna unmet need adalah “Proporsi wanita usia subur dalam status kawin yang tidak menggunakan alat kontrasepsi meski pun mereka menyatakan ingin menunda atau menjarangkan-anak (definisi standard); dan/ atau mereka yang unmet need karena resiko kesehatan dan pemakaian kontrasepsi yang buruk tidak menginginkan tambahan anak (membatasi kelahiran)”.

Sebagai bahan perbandingan, beberapa penelitian tentang unmet need mengungkapkan: Menurut Hatmadji misalnya, faktor yang berpengaruh terhadap unmet need di Indonesia disebabkan oleh faktor demografi dan sosial ekonomi. Beberapa penelitian telah mengungkap faktor penyebab unmet need diantaranya kurangnya pengetahuan tentang KB, kurangnya dukungan suami dan budaya yang masih dipegang teguh oleh pasangan usia subur.

Penelitian dan studi yang dilakukan di Gwalior mengemukakan bahwa faktor unmet need yaitu dukungan suami dan paparan informasi. Studi di India mengemukakan bahwa agama, dukungan suami dan pekerjaan (status ekonomi) menjadi faktor unmet need. Penelitian di Kenya menemukan bahwa pengetahuan dan dukungan suami menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya unmet need. Penelitian yang dilakukan di Pidie Jaya mengungkap bahwa faktor yang paling berpengaruh pada WUS yang tidak menggunakan kontrasepsi yaitu dukungan suami.

Penelitian lain menunjukkan bahwa budaya dan pendapat negatif sesepuh tentang kontrasepsi terkait dengan kemungkinan penurunan penggunaan kontrasepsi. Kepatuhan pada pendapat orang tua menjadi salah satu alasan wanita tidak menjadi akseptor KB. Penelitian yang dilakukan oleh Roogaarts dan Bruce menemukan pengaruh faktor pengetahuan, akses pelayanan KB, pengaruh sosial dan dukungan keluarga terhadap unmet need KB. Menurut Speizer, penyebab unmet need di sebagian negara Sub-Sahara Afrika adalah dukungan suami, pengetahuan yang kurang dan biaya yang mahal. Beberapa penelitian lainnya mengungkapkan bahwa unmet need dipengaruhi oleh faktor sosial demografi diantaranya :umur, paritas, pendidikan, alat kontrasepsi yang pernah digunakan dan daerah tempat tinggal. (SariestyaRismawati, PustakaUnpad Bandung, 2014).

Di Provinsi Sulawesi Tenggara, ada sebanyak 107.271 PasanganUsia Subur (PUS) yang tidak terlayani atau sebesar 29,29 % dari jumlah PUS Sultra yakni 366.380 PUS. Dari jumlah unmet need sebanya kitu, ada 55.006 masuk kategori unmet need spacing dan 52.265 unmet need limiting. Unmet Need Spacing dinyatakan sebagai:“Women with an unmet need for spacing are those who desire to postpone their next birth by a specified length of time (for example, for at least two years from the date of a survey) and who do not currently use a contraceptive method”.Intinya, Unmet Need Spacing adalah“PUS yang ingin punya anak tapi ditunda, mereka ingin ber-KB tapi tidak terlayani”. Sedangkan Unmet Need Limiting adalah PUS yang tidak ingin punya anak lagi sehingga ingin ber-KB (menggunakan alat kontrasepsi) tetapi tidak terlayani.

Angka unmet need sebesar 29,29 % seperti yang terjadi di Sulawesi Tenggara merupakan angka yang tergolong tinggi. Idealnya angka unmet need itu tidak perlu terjadi, jika perhatian pemerintah terhadap pelayanan KB maksimal. Namun demikian angka unmet need meskipun tidak bisa sama sekali dihilangkan, semestinya tidak sebesar itu. Setidaknya harus ada di bawah 10 persen.

Untuk menghilangkan angka unmet need ini membutuhkan informasi awal apa saja penyebabnya sehingga PUS di wilayah tersebut tidak dapat terlayani kontrasepsnya? Beberapa informasi yang didapat, khusus di Sulawesi Tenggara, ada beberapa tantangan yang berkaitan dengan unmet needini, antara lain:

  • Kualitas pelayanan dan keterjangkauan tempat pelayanan yang masih rendah dan sulit;
  • Adanya rasa takut terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan kontrasepsi;
  • Ketersediaan dan distributor alat-obat kontrasepsi (alokon) yang belum merata;
  • Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap berbagai macam kontrasepsi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing termasuk cara kerja dari alokon tersebut;
  • Masih ada yang beranggapan penggunaan alokon tidak sejalan dengan ajaran agama;
  • Daerah-daeraht ertentu yang tergolong tertinggal-terpencil-perbatasan (galciltas) dan kepulauan masih sulit aksesnya untuk mendapatkan pelayanan.

Beberapa informasi yang tergolong menjadi penyebab masih tingginya unmet need di Sultra tersebut membutuhkan penanganan yang lebih serius, utamanya oleh Dinas yang menggarap program Pengendalian Penduduk dan KB (Dinas PPKB) di level/tingkat kabupaten/kota, juga Perwakilan BKKBN tingkat provinsi.

Beberapa diantaranya dibutuhkan sosialisasi yang lebih inten, khususnya mengenai item “adanya rasa takut efek samping”. Dari sosialisasi perlu ditingkatkan kekonseling, sehingga PUS yang ingin ber-KB bisa lebih dalam memahami keberadaan dan fungsi-fungsi alokon. Hal ini sekaligus untuk mengatasi item ke-4, yakni “kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap berbagai macam kontrasepsi dengan kelebihan dankekurangan masing-masing termasuk cara kerja dari alokon tersebut”. Masalah agama (item ke-5) juga dibutuhkan sosialisasi inten, pendekatan terhadap tokoh informal, para ustadz, kiyai, guru-guru agama, pendeta, uskup, biksu, pastor, dll perlu lebih sering lagi. Tentu saja para Penyuluh KB tidak semuanya bisa berperan sebagai tokoh agama, maka pendekatan terhadap tokoh agama setempat menjadi sangat penting. Biarlah para tokoh agama tersebut yang berbicara dan menyampaikan masalah KB dan kontrasepsi kepada masyarakat atau umatnya.

Adapun beberapa point lain, seperti “Kualitas pelayanan dan keterjangkauan tempat pelayanan yang masih rendah dan sulit; Ketersediaan dan distributor alat-obat kontrasepsi (alokon) yang belum merata; dan“daerah-daerah tertentu yang tergolong tertinggal-terpencil-perbatasan (galciltas) dan kepulauan masih sulit aksesnya untuk mendapatkan pelayanan”. Hal ini tentu menjadi kewajiban pemerintah, mulai dari level paling bawah (desa/kelurahan) hingga level pusat. Level paling bawah (desa/kelurahan) setidaknya dapat menyampaikan informasi ke level yang lebih atas, atau jika memungkinkan dan dibenarkan saat ini di tiap desa telah memiliki anggaran Dana Desa (DD), ADD, atau anggaran lainnya yang sah dan tidak mengikat dapat saja digunakan untuk membenahi fasilitas-fasilitas pelayanan tersebut.

*) Penulis adalah Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Perwakilan BKKBN Prov. Sultra.

 

 

  • Bagikan