Perubahan Wajah Politik Tanpa Ambang Batas

  • Bagikan

Jakarta, Sibnernas.id – Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuat keputusan mengejutkan di awal tahun 2025 dengan menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.

Keputusan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan hukum dan logika, yang bercermin pada perubahan sistem pemilu Indonesia.

Aturan ambang batas 20 persen bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UU Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut MK. Pasal ini memberi hak kepada partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini bertentangan dengan konstitusi sebab hak ini hanya bisa digunakan oleh partai besar atau koalisi partai yang memenuhi syarat.

Menurut MK, ketentuan ambang batas sudah melanggar keadilan, moralitas, dan rasionalitas dalam sistem demokrasi Indonesia dan tidak bisa ditoleransi. Ambang batas ini dianggap membatasi pilihan rakyat dan berpotensi membuat polarisasi di masyarakat, yang dapat mengancam persatuan bangsa.

MK mencermati bahwa pemilihan presiden selama ini condong didominasi oleh partai politik tertentu, yang berimbas pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapat pilihan lain yang cocok. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi.

Salah satu tujuan awal penerapan aturan ambang batas 20%, menurut MK, tidak tercapai. Sebaliknya, aturan ini banyak menguntungkan partai-partai besar yang sudah mempunyai kursi di DPR daripada menyederhanakan jumlah partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu.

MK percaya bahwa menghapus ambang batas bisa memberi jalan bagi calon baru dan ide yang menyegarkan. Harapannya bisa meningkatkan kualitas demokrasi dan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam politik.

Keputusan MK ini merupakan keputusan berani yang diambil untuk memperbaiki sistem demokrasi Indonesia. Dengan dihapusnya ambang batas 20 persen, semua partai politik peserta pemilu kini punya kesempatan sama untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejatinya bisa menghasilkan kompetisi politik yang sehat dan memberi opsi yang beragam bagi rakyat Indonesia.

Dampak Sistem Pemilu

Dengan penghapusan ambang batas 20 persen, semua partai kecil bisa leluasa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tanpa syarat minimal kursi di DPR, partai kecil punya kesempatan sama untuk mengajukan calon. Tentunya bisa meningkatkan partisipasi politik dan menciptakan kompetisi yang sehat di antara partai.

Keputusan ini lazimnya bisa mengurangi dominasi partai besar dalam sistem politik Indonesia. Selama ini, aturan ambang batas bergeser menguntungkan partai yang sudah status quo dan menguasai kursi DPR. Dengan dihapuskannya aturan ini, kita bisa melihat munculnya wajah baru dan ide segar dalam perpolitikan nasional.

Penghapusan presidential threshold berpotensi memupuk representasi politik yang luas. Masyarakat punya banyak opsi calon pemimpin, yang mewakili keragaman aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat dan partisipasi politik inklusif.

Meski begitu, banyak pihak menyambut baik keputusan MK ini. Ada anggapan hal tersebut sebagai kemenangan bagi rakyat Indonesia. Keputusan ini seyogianya membuat masa depan demokrasi kita lebih adil, setara, dan inklusif.

Perubahan ini membuka peluang bagi generasi muda untuk aktif berpartisipasi dalam politik. Lewat terbukanya akses yang luas, anak-anak muda Indonesia kini berkesempatan untuk mewujudkan mimpinya menjadi pemimpin bangsa.

Mesti diingat bahwa penghapusan ambang batas ini bukan artinya tak ada regulasi sama sekali. MK memberi rekomendasi kepada pembuat undang-undang untuk menyusun mekanisme pencalonan yang tetap menjaga kualitas demokrasi. Semisal, partai politik yang tak mengusulkan calon bisa dikenakan sanksi larangan ikut pemilu berikutnya.

Potensi politik 2029

Salah satu konsekuensi riil dari penghapusan ambang batas 20 persen ini yakni kemungkinan bertambahnya jumlah kandidat presiden pada Pemilu 2029. Tanpa adanya syarat minimal dukungan kursi di DPR atau perolehan suara nasional, semua partai politik peserta pemilu kini punya hajat yang sama untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Potensinya menghadirkan banyak opsi bagi masyarakat dan menciptakan kompetisi yang ketat antar kandidat.

Penghapusan ambang batas juga membuka keleluasaan bagi munculnya wajah baru dalam bursa calon presiden. Partai kecil atau bahkan partai baru yang lolos sebagai peserta pemilu kini punya kesempatan untuk mengusung kader terbaiknya sebagai calon pemimpin bangsa. Hal ini bisa jadi penyegaran bagi demokrasi Indonesia, lantaran memberi ruang bagi munculnya alternatif pemimpin di luar tokoh yang selama ini mendominasi panggung politik nasional.

Walaupun, perlu diingat bahwa meski ambang batas dihapuskan, persoalan untuk menjadi calon presiden tetap tidak mudah. Biaya politik tinggi menjadi hambatan utama bagi partai atau individu yang ingin maju sebagai calon presiden. Maka dari itu, kemungkinan besar cuma partai atau tokoh yang punya sumber daya finansial dan dukungan politik kuat yang benar-benar mampu berkompetisi dalam Pilpres 2029.

Perubahan aturan ini juga berpotensi mengubah pola koalisi antar partai. Tanpa keharusan memenuhi ambang batas 20%, partai kecil bisa jadi memilih untuk berkoalisi berdasarkan kesamaan visi dan platform politik, bukan semata demi memenuhi syarat pencalonan presiden. Hal ini bisa membuat koalisi baru yang ideologis dan substantif.

Sementara itu, partai besar yang selama ini menikmati “privilege” dari aturan ambang batas 20% akan menghadapi masalah baru. Partai besar mesti berpikir ulang mengatur strategi politiknya untuk tetap relevan dan kompetitif dalam lanskap politik yang terbuka.

Walau begitu, penghapusan ambang batas ini juga menimbulkan kecemasan akan terjadinya fragmentasi politik yang berlebihan. Dengan potensi munculnya banyak calon presiden, ada risiko suara pemilih terpecah dan menghasilkan presiden terpilih dengan dukungan yang relatif kecil. Hal ini bisa memantik masalah legitimasi dan stabilitas pemerintahan ke depannya.

Terlepas dari beragam potensi perubahan tersebut, yang pasti penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini akan membuat Pemilu 2029 menjadi dinamis dan menarik untuk diikuti. Masyarakat dihadapkan pada banyak pilihan, dan partai politik dituntut untuk benar-benar menampilkan kader terbaiknya jika ingin memenangkan kompetisi.

Pada akhirnya, keberhasilan perubahan ini tergantung pada kematangan demokrasi kita. Masyarakat perlu mendapat pendidikan politik yang baik untuk memilih pemimpin dengan bijak, terlebih dengan bertambahnya kandidat. Pasalnya, partai politik juga harus bertanggung jawab dalam mengusung calon berkualitas demi kemajuan bangsa.

Perbandingan negara lain

Penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Indonesia membuka peluang untuk mempelajari pengalaman negara lain yang sudah lama menjalankan sistem serupa. Beberapa negara dengan sistem presidensial yang mapan justru tidak menerapkan ambang batas dalam pencalonan presiden.

Amerika Serikat, sebagai contoh negara dengan sistem presidensial paling stabil, tak mengenal adanya ambang batas pencalonan presiden. Pada Pilpres 2016, terdapat sekitar 24 calon yang terdaftar di surat suara beberapa negara bagian atau menjadi calon tertulis. Meski demikian, sistem politik Amerika tetap stabil dengan dominasi dua partai besar.

Brazil, negara demokrasi terbesar di Amerika Latin, juga tidak menerapkan ambang batas pencalonan presiden. Pasal 77 Konstitusi Brazil hanya mengatur mekanisme pemilihan presiden tanpa menyebut syarat ambang batas dukungan. Hal ini memungkinkan partai kecil untuk mengajukan calon presidennya sendiri.

Di Peru, calon presiden dipilih secara langsung sesuai Pasal 111 Konstitusi Peru. Tidak ada persyaratan ambang batas, sehingga memungkinkan banyak kandidat untuk berkompetisi. Sistem ini membuka peluang bagi munculnya figur baru dalam perpolitikan nasional.

Meksiko, sebagai negara presidensial lainnya, juga tidak menerapkan ambang batas. Pada pemilu 2018, terdapat 4 calon presiden yang secara resmi mendaftar. Hal ini membuktikan bahwa kompetisi politik tetap bisa berjalan tanpa adanya pembatasan pencalonan.

Kolombia menerapkan sistem dua putaran dalam pemilihan presidennya. Jika tidak ada kandidat yang memperoleh mayoritas absolut pada putaran pertama, dua kandidat teratas akan maju ke putaran kedua. Sistem tersebut memungkinkan partisipasi luas dalam pencalonan awal.

Pengalaman negara lain mengindikasikan bahwa sistem tanpa ambang batas bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh kematangan demokrasi dan kedewasaan politik masyarakat. Indonesia mesti mempersiapkan diri untuk menghadapi potensi bertambahnya jumlah kandidat presiden dengan meningkatkan pendidikan politik dan kesadaran pemilihnya.

Singkat kata, efektifnya sistem baru sangat bergantung pada kematangan demokrasi Indonesia. Lewat pendidikan politik yang intensiflah masyarakat bisa memilih pemimpin secara cerdas di tengah potensi bertambahnya jumlah kandidat. Di samping itu, partai politik dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam mengusung calon pemimpin yang berkualitas demi kemajuan bangsa.

*) Heru Wahyudi adalah Dosen Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang

  • Bagikan