Potret Kiprah Rukun Keluarga Moronene di Festival Budaya Nusantara HUT ke-16 Konawe Utara

  • Bagikan

Konawe Utara, Sibernas.id – Rukun Keluarga Moronene (RKM) Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk kedua kalinya kembali berkiprah untuk memeriahkan Karnaval Budaya Nusantara yang merupakan Rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Konawe Utara, berlangsung di Pantai Taipa, Jumat (30/12/22).

Ketua RKM, Hj Sitti Saleha mengatakan, keikutsertaan RKM dalam karnaval budaya ini merupakan bentuk dukungan organisasi kepada pemerintah khususnya Pemda Konut yang selama ini herkontribusi menjadi wadah pemersatu  suku dan paguyuban di Sultra.

“Karnaval diikuti seluruh paguyuban yang ada di Sultra. Alhamdulillah Rukun Keluarga Moronene menempati urutan pertama saat karnaval. Insya Allah kami akan selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan pemerintah,” kata Kadis Perindag Sultra ini.

Dalam kesempatan itu, Ketua Umum RKM Sultra menyerahkan Cendramata berupa kain motif daerah Moronene masing masing Bupati Konut, Wakil Bupati Konut dan Kapolres Konut.

Camat Mataoleo Kabupaten Bombana, Sukaji Ramang, S.Sos yang turut hadir untuk Persiapan Kirab Budaya Konasara mengaku salut atas upaya Ketua RKM Sultra dalam mempromosikan potensi budaya Moronene diberbagai kesempatan.

“Saya senang dan bangga sekali sebagai penggiat Budaya Moronene dengan upaya yang dilakukan oleh ketua RKM Sulta, kami jauh jauh dari Bombana bisa hadir di Konut” kata Sukaji.

Pemilik Sanggar Seni di Bombana ini mengerahkan seluruh anggota nya untuk mempersembahkan yang terbaik.

Dalam karnaval budaya di Konut, RKM Sultra menampilkan dua atraksy yakni persembahan Tarian Lumense dan Ritual Tuaa Mentaa dalam tradisi adat Perkawinan Moronene.

Rombongan RKM terdiri dari 50 orang dengan melibatkan Himpunan Pemuda Pelajar  mahasiswa Moronene (HIPPAMOR) Kendari.

Sekedar informasi, karnaval budaya kali ini diikuti seluruh paguyuban yang ada di Sultra. Pesertanya mencapai ribuan orang. Pada kesempatan tersebut, dibacakan sinopsis terkait RKM yang didirikan  tahun 1949 di Makassar.  Pada tahun 1965 selanjutnya RKM dibentuk di provinsi Sulawesi tenggara.

Atraksi budaya yang ditampilkan adalah  tarian lumense, Tari lumense merupakan salah satu tarian dari Moronene Kabaena kebanggaan Sultra yang dipersembahkan di istana negara pada peringatan HUT kemerdekaan RI ke 75  tahun 2021.

Rukun keluarga Moronene  menurunkan peserta sebanyak 50 orang  dibawah kepemimpinan Hj.Sitti Saleha selaku ketua dan Masrul selaku sekjen. Paguyuban Rukun Keluarga Moronene  mengusung tema bersama paguyuban merajut keragaman budaya membangun masa depan Sulawesi Tenggara.

Busana yang dikenakan adalah busana tradisional Moronene dengan ciri khas kombo untuk busana perempuan dan ta’ali atau tutup kepala untuk busana adat laki-laki dengan falsafah ‘mate yahoo poweweu, sawali merukusi dosa owose’ yang artinya mati adalah ketentuan ilahi, tetapi menggangu ketentraman dan ketertiban adalah dosa.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, menyatakan bahwa Suku Moronene merupakan suku yang kebanyakan mendiami wilayah Kabupaten Bombana dan Suku Moronene adalah salah satu suku besar yang terdapat di Sultra.

Para pakar antropologi berkeyakinan bahwa orang Moronene ini adalah penghuni pertama wilayah ini (Sultra). Mereka tergolong suku bangsa Proto Malayan (Melayu Tua) yang datang dari Hindia, pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2 ribu tahun sebelum Masehi.

Namun sekitar abad 18, mereka tergusur oleh semakin berkembangnya penduduk atau suku lain yang juga menghuni wilayah ini.

Istilah “Moronene” berasal dari kata “moro” yang berarti “serupa” dan “nene” yang berarti “pohon resam”. Pohon Resam adalah sejenis tanaman paku (pakis), yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper.

Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang banyak kawasan sumber air.

Suku Moronene adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di beberapa kabupaten di Sultra termasuk Kota Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan keamanan sekitar tahun 1952 – 1953.

Dalam pergaulan sehari-hari dijumpai bahwa pada umumnya masyarakat suku Moronene itu peramah, menghormati yang tua dan suka menjalin persahabatan.

Beberapa istilah sopan santunnya antara lain Ampadea. berlaku sopan, contoh bila orang tua sedang berbicara, anak-anak tidak boleh ikut campur atau tidak ikut berbicara.

Setiap berkunjung ke Bombana, ada beberapa tempat menarik yang perlu dikunjungi. Salah satunya desa adat Hukaea Laea Kecamatan Lantari Jaya. Di desa ini, warganya masih memegang teguh adat istiadat.

Sesuatu yang unik di desa itu adalah sistem kekerabatan. Para wanita di Desa Hukaea ini diperbolehkan hanya bisa menikah dengan pria yang tinggal di lingkungan desa mereka.

Jika diketahui ada wanita yang menikah dengan pria dari luar Desa Adat Hukaea Laea, maka tidak diizinkan tinggal di kampung adat tersebut sehingga harus keluar kampung.

Namun anehnya, itu cuma berlaku bagi wanita. Sedangkan pria diberikan kebebasan untuk mencari wanita, baik yang berasal dari Desa Adat Hukaea Laea maupun yang berasal dari luar desa.

  • Bagikan