TERJADINYA KEHAMILAN YANG TIDAK DIINGINKAN (KTD)

  • Bagikan
Nurnianah
Dra Nurnianah

Oleh Dra Nurnianah

Masa remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Pola tingkah laku remaja dipengaruhi oleh pertumbuhan sosial dan pola kehidupan masyarakat yang nantinya menentukan kehidupan pribadi remaja. Beberapa karakteristik remaja yang berpotensi menyebabkan terjadinya KTD:

– Masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri, sehingga pengaruh lingkungan       yang tidak baik dan kurangnya informasi yang benar menyebabkan permasalahan termasuk KTD.
– Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompokSenang berksperimentasi.
– Ketidakstabilan emosi.
– Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
– Kegelisahan karena banyak hal yang diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
– Senang bereksplorasi.

Kehamilan tidak diinginkan (KTD) selain terjadi pada seorang wanita dewasa, sebagian besar juga terjadi pada remaja. KTD pada remaja menunjukankecenderungan meningkat berkisar 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahunnya. Dari hasil survei yang pernah dilakukan pada sembilan kota besar di Indonesia menunjukan KTD mencapai 37.000 kasus, 27% diantaranya terjadi dilingkungan pranikah dan 12,5% adalah pelajar.

KTD atau kehamilan tidak diinginkan merupakan kehamilan saat dimana salah satu atau kedua belah pihak dari pasangan tidak menginginkan terjadinya kehamilan sama sekali atau kehamilan yang sebenarnya diinginkan tapi tidak pada saat itu. KTD sebenarnya dapat pula terjadi pada pasangan yang telah menikah karena pasangan tersebut belum merencanakan kehamilan. Namun, kasus KTD yang kini menjadi sorotan publik dan menjadi perhatian yaitu kasus KTD yang terjadi pada remaja.

Di bidang layanan kesehatan juga mendapatkan dampak negatif karena pada kehamilan yang tidak diinginkan ibu memiliki kecenderungan untuk tidak memeriksakan kehamilannya pada tenaga kesehatan yang berkompeten, imunisasi yang tidak adekuat serta perilaku menyusui yang kurang benar. Di bidang sosial ekonomi dengan berkurangnya kejadian tidak diinginkan dapat meningkatkan kesejahteraan baik pada ibu maupun anakanak mereka. Jika dihubungkan dengan target Millenium Development Goal’s (MDGs) maka dengan adanya penurunan
kehamilan tidak diinginkan akan membantu pencapaian target MGs ke 4 dan 5 yaitu
di bidang kesehatan ibu dan anak.

Kehamilan tidak diinginkan dapat disebabkan perilaku tidak sehat dan kondisi pada saat sebelum atau selama kehamilan seperti perkosaan, kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan kesehatan, janin cacat, usia muda atau belum siap mempunyai anak, pasangan tidak bertanggungjawab atau hubungan dengan pasangan belum mantap. Selain itu, kejadian kehamilan tidak diinginkan berhubungan erat dengan berbagai aspek seperti kondisi sosiodemografi keluarga, budaya serta kepercayaan yang ada di masyarakat.

Program pemerintah dalam kesehatan reproduksi seperti program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi remaja yang kurang berhasil diperkirakan sebagai salah satu pemicu terjadinya kehamilan tidak diinginkan. Selain disebabkan kegagalan KB kasus kehamilan tidak diinginkan juga bisa dialami oleh mereka yang tidak menggunakan kontrasepsi dalam 3 bulan terakhir padahal mereka termasuk aktif secara seksual.

World Health Organization (WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan pertahun, sekitar 38 persen (75 juta) merupakan kehamilan tidak diinginkan. Dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012 (SDKI 2012) didapatkan bahwa 7 persen kelahiran diharapkan kemudian dan 7 persen kelahiran tidak diinginkan sama sekali. Beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian kehamilan tidak diinginkan antara lain daerah tempat tinggal, usia ibu, paritas, jumlah anak hidup, jarak kelahiran, status penggunaan alat kontrasepsi dan status ekonomi. Dengan masih tingginya prevalensi kehamilan yang tidak diinginkan, maka perlu untuk mengetahui determinan kehamilan yang tidak diinginkan sebagai salah satu langkah untuk menurunkan risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan di Indonesia.

Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan juga semakin menurun. Dengan kata lain pendidikan akan mengurangi risiko kehamilan tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka kehamilan tidak diinginkan semakin menurun.

Tingkat pendidikan seorang perempuan berkaitan dengan kemampuan dirinya untuk menangkap informasi yang ada seperti kesadaran, nilai keuntungan keluarga kecil serta pengetahuan tentang kontrasepsi dan keluarga berencana. Perempuan buta huruf atau dengan pendidikan rendah lebih rentan mengalami kehamilan tidak diinginkan karena kemampuan mereka menangkap informasi guna pencegahan.

Analisis bivariat hubungan faktor sosio-demografi dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan, terhadap kejadian kehamilan tidak diinginkan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pada studi intervensi yang dilakukan di Bandung juga menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai pencegahan kejadian kehamilan tidak diinginkan berbeda signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi seperti keluarga berencana dan kontrasepsi. Penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa pendidikan rendah merupakan faktor risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan.

Pada wanita dengan pendidikan tinggi memiliki peluang untuk memiliki pekerjaan lebih baik dibanding dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih rendah sehingga mereka memikirkan alternatif cara untuk dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan karena dianggap akan menghambat karir pekerjaan mereka. Namun beberapa penelitian lainnya seperti di Kenya dan Nigeria menunjukkan bahwa pendidikan tidak memiliki hubungan dengan kehamilan tidak diinginkan.

Alasannya mengapa demikian karena kemungkinan hal ini tidak hanya terkait dengan daerah tempat tinggal namun juga faktor yang lain seperti pendapatan keluarga atau status ekonomi keluarga. Kehamilan tidak diinginkan lebih rentan terjadi di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia termasuk sangat
cepat. Saat ini sekitar separuh penduduk Indonesia telah tinggal di kawasan perkotaan. Persentase penduduk di daerah perkotaan meningkat dari 42,1 persen pada tahun 2000, menjadi 49,8 persen pada tahun 2010.

Pertumbuhan penduduk yang pesat di perkotaan ini juga mengakibatkan banyaknya pengangguran dan daerah kumuh yang dapat meningkatkan risiko kejadian kehamilan tidak diinginkan. Penelitian yang dilakukan di Nairobi, Kenya menunjukkan bahwa dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya urban poor area.

Penduduk di daerah urban poor ini akan lebih rentan terhadap risiko perilaku seksual yang tidak aman. Penelitian yang dilakukan di New York, Amerika Serikat mendapatkan bahwa kejadian kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi terjadi di daerah urban poor karena di daerah ini tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi sehingga meningkatkan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Pada daerah urban poor juga lebih sulit untuk mendapatkan akses pendidikan serta informasi kesehatan reproduksi seperti tentang kontrasepsi dan pencegahan kehamilan tidak diinginkan.

Jadi, determinan kehamilan tidak diinginkan di Indonesia adalah prilaku remaja, tingkat pendidikan ibu, daerah tempat tinggal, status hidup bersama pasangan, paritas, komplikasi kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan penyakit yang diderita ibu. Informasi dan edukasi bagaimana pencegahan kejadian kehamilan tidak diinginkan masih perlu ditingkatkan.

(Penulis adalah ASN Lingkup BKKBN Perwakilan Sultra dengan jabatan fungsional/TMT adalah Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Muda)

  • Bagikan