DP3A-PPKB Sultra bersama BKKBN Wakatobi Gelar Advokasi dan Sosialisasi GDPK Tingkat Sultra

  • Bagikan

Wakatobi, sibernas.id – Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Wakatobi menggelar kegiatan Advokasi dan Sosialisasi Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) tingkat Sultra, berlangsung di Aula Hotel Wisata Wakatobi, Selasa (19/3/2024).

Kegiatan tersebut buka langsung Sekretaris Daerah (Sekda) Wakatobi Nadhar, diikuti sekitar 40 orang peserta dari lintas sektor yang ada di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi.

Dalam sambutannya, Sekda Wakatobi Nadhar mengingatkan seluruh peserta bahwa Pemkab Wakatobi sudah memiliki dokumen wajib yang bernama GDPK.

“Alhamdulillah GDPK Wakatobi sudah rampung disusun di akhir tahun 2022. Tahap selanjutnya kita sedang memproses agar GPDK ini juga dibuatkan perda atau Perbup-nya sehingga GDPK bukan hanya menjadi dokumen mati yang hanya tersusun sebagai pajangan di lemari arsip, tetapi bisa diimplementasikan sebagai acuan pembangunan kependudukan 5 pilar,”tegasnya.

Dalam kegiatan tersebut yang bertindak sebagai Nara Sumber adalah Kepala Dinas P3APPKB Provinsi Sultra dan Dr. H. Mustakim dari Perwakilan BKKBN Provinsi Sultra.

Dalam materinya yang disampaikan Kabid Dalduk dan KB, Ir. Darmawan, M.PW, Kadis P3APPKB Sultra lebih banyak menyoroti kebijakan Pemprov Sultra yang berkaitan dengan GDPK 5 Pilar. Sedangkan Mustakim mengupas kedalaman isi GDPK Provinsi Sultra dan GDPK Wakatobi.

“TFR Wakatobi masih cukup tinggi jika masih bertengger di angka 2,74.
Cita-cita TFR Indonesia secara nasional adalah 2,1. Dengan TFR 2, insyaallah penduduk seimbang bisa tercapai.
Sekarang yang juga menjadi persoalan adalah masalah bonus demografi, karena disamping usia produktif yang jumlahnya banyak masih banyak tidak produktif, ada juga definisi usia produktif dengan usia 15 – 65 tahun yang di Indonesia secara anak-anak usia 15 – 23 tahun pada umumnya masih sekolah hingga kuliah yang umumnya belum produktif,”terang Mustakim.

Menurut Mustakim, hal itu bisa menjadi masalah serius karena begitulah kenyataan real kondisi kita di lapangan.

“Makanya, pemerintah perlu mengkaji ulang atau redefinisi dengan batasan umur usia produktif tersebut. Jika selalu mengikuti standar PBB (15-65 tahun) yakinlah Indonesia akan selalu dirugikan karena data-data real kita selalu saja membayang- bayangi,”pungkasnya.

  • Bagikan