Kolaka, sibernas.id – Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil Kemenag) Sulawesi Tenggara (Sultra)yang juga Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, H Zainal Mustamin, secara resmi membuka kegiatan Pengembangan Profesi Guru lingkup MTsN 1 Kolaka dan MAN 1 Kolaka dengan tema “Digitalisasi Pembelajaran Menuju Madrasah Mandiri Berprestasi”, Jumat (24/2/2023).
Kakanwil didampingi Kabag Tata Usaha Kanwil Kemenag Sultra H Muhammad Saleh, Kabid Pendidikan Madrasah Sitti Mardawiah Kasim dan Kepala Kemenag Kabupaten Kolaka H Baharuddin.
Turut hadir, Wakil Ketua MUI Sultra KH Djakri Nappu, Kabid PHU H Marni, Kasi Penmad Kemenag Kab. Kolaka, Kamad MAN 1 Kolaka, Kamad MTsN 1 Kolaka, MIN 1 Kolaka, MIN 2 Kolaka, Wakamad serta para guru.
Plt Kakanwil Kemenag Sultra Zainal Mustamin mengatakan, dalam bentangan perjalanan kerja dan kehidupan, setiap orang tidak bisa menghindarkan diri dari dua siklus kehidupan, yaitu siklus menaik dan siklus menurun. Ketika sedang senang atau bahagia, seseorang tengah berada di siklus menaik. Tapi ketika sedang benci, susah, mendapatkan ujian dan cobaan maka berada pada posisi siklus menurun.
Problemnya, lanjutnya bukan pada siklusnya tapi siap tidaknya seseorang berada di siklus menaik dan siklus menurun. Karena siklus menaik maupun menurun sejatinya adalah cobaan.
“Begitu juga para guru dalam menjalankan tugasnya tidak semulus yang dibayangkan orang. Kehebatan dan prestasi seringkali hanya dilihat di ujungnya, tapi proses-proses menjalaninya dihantui dan diiringi dengan dua siklus tersebut. Melewati proses-proses yang kadang menggetarkan hati, memerlukan pengorbanan dan kesabaran. Karena itu keprofesionalan itu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seseorang menghadapi situasi sulit dan situasi baik, dalam menjalankan tugasnya sebagai guru,”jelasnya.
Menurutnya, guru hebat bukanlah mereka yang tidak pernah mengeluh menghadapi kekurangan dan keterbatasan dan kondisi siswa yang heterogen. Tapi guru yang hebat itu adalah mereka yang sanggup mengatasi keluhan, kemudian mendidik pengetahuannya dengan tulus dan ikhlas pada para peserta didik.
“Tak hanya itu, kita berharap guru-guru kita dapat mengajar siswa tidak hanya di dalam sekolah tapi juga di luar, mampu menjadi instruktur seperti halnya di provinsi lain. Menjadi narasumber-narasumber karena kompetensinya yang baik, menyebarkan informasi dan pengetahuan kepada orang lain,” ungkapnya.
Dikatakannya, guru diharapkan tidak hanya menjadi teacher tapi juga Learner. Teacher belajarnya hanya untuk mengajar, sedangkan learner belajar untuk membelajarkan. Learner adalah para pembelajar yang tidak pernah berhenti belajar. Mereka belajar bukan hanya untuk mengajar tetapi juga untuk kehidupan yang menghidupkan.
“Mari kita menjadi learner bukan sekedar teacher. Guru yang profesional harus menjadi pembelajar yang membelajarkan pelajaran kepada para pelajar dengan pembelajaran yang membelajarkan. Artinya, pembelajaran yang tidak pernah berhenti dan tidak hanya disekat oleh ruang kelas dan waktu di sekolah. Namun pembelajaran yang terus berlangsung sepanjang kehidupan,” ajaknya.
Ia menambahkan, guru menjadi orang tua intelektual yang bisa bersama anak-anak. Membangun karakter tidak bisa hanya dibatasi oleh ruang kelas dan jam mengajar. Tapi membangun karakter itu adalah pembentukan habituasi lingkungan yang memberikan dukungan bagi pembentukan karakter, kehadiran guru dibutuhkan untuk bisa terus mendampingi anak-anak.
“Ciptakan surga di sekolah, kenikmatan kebahagiaan dan kenyamanan dalam pembelajaran agar anak didik menikmati belajarnya. Sehingga anak-anak tidak merasa senang ketika gurunya tidak ada, ketika ada jam kosong dan ketika mereka libur. Tapi mereka selalu merasa tertarik untuk datang ke sekolah karena di sekolah ada kenyamanan dan kebahagiaan,” ujarnya.
Lanjutnya, Guru harus mempersiapkan anak-anak didik dengan karakter yang baik, karena tujuan yang paling esensial dari pendidikan adalah bagaimana memanusiakan manusia dan harus dimulai dari dunia pendidikan.
Dirinya menggambarkan, siswa yang yang hebat dan juara di bidang sains teknologi dan sebagainya, di masa depan ketika mereka bisa menguasai teknologi tidak ada gunanya jika digunakan untuk menghancurkan kemanusiaan. Kemajuan hebat di bidang pengetahuan dan teknologi seperti pisau bermata dua. Kemajuan iptek di satu sisi menghadirkan kenikmatan dalam hidup, tapi di sisi lain menjadi ancaman bagi kehidupan itu sendiri.
“Kemajuan teknologi dan pengetahuan bila berada di tangan orang-orang yang tidak belajar tentang karakter kehidupan yang menghargai manusia dan memanusiakan manusia, maka akan menghancurkan dan menjadi ancaman bagi kemanusiaan. Jadi, ujung dari pendidikan yang kita lakukan itu adalah membentuk karakter,”katanya
Ia memaparkan, Ibarat komputer yang memiliki antivirus smadav yang bisa mendeteksi virus dan menghapusnya. Maka dalam pendidikan, smadavnya itu adalah berupa pembentukan kekuatan keagamaan, karakter dalam jiwa anak, agar meresap betul dalam dirinya dan menjadi daya tangkal yang handal pagi potensi banyaknya virus-virus kemajuan zaman yang menjadi ancaman bagi anak-anak dimasa depan.
“Jadi kita install kan smadav tersebut dalam diri anak-anak kita sehingga dia tidak terombang-ambing di masa depan. Kalau dia memiliki kemajuan dan kehebatan, maka dia akan berpikir mana yang bertentangan dengan kemanusiaan. Karena dia dididik menjadi manusia-manusia yang hebat. Itu bisa kita lakukan jika kita bisa menciptakan habitatnya di sekolah, guru-guru harus selalu bersama dengan anak-anak di usianya yang masih labil dengan senantiasa menyediakan ruang-ruang kosong dan melakukan pendampingan,” sebutnya.
Jika tidak dilakukan pendampingan, kata dia, maka generasi akan rusak dengan dunianya yang singkat karena diisi dengan hal-hal yang negatif. Murid harus diajarkan memiliki kesetiaan kepada guru. Pendidik profesional tidak hanya berpikir soal penghasilan, tunjangan dan sebagainya. Tapi mereka menciptakan kesetiaan yang tulus dari anak-anak. Sehingga, meskipun mereka sudah tamat dari sekolahnya, mereka selalu mengingat pesan-pesan yang disampaikan.
“Kita bisa belajar dari kesetiaan anjing. Anjing itu sangat setia dengan majikannya sebagaimana digambarkan dalam Al Quran kisah Ashabul Kahfi dimana anjing setia menjagainya sampai 309 tahun tertidur didalam gua. Di Jepang kita juga belajar kisah seekor anjing yang bernama Hachiko dimana setiap hari menjemput ke stasiun kereta menjemput majikannya. Pada tahun 1925 majikannya wafat dan dia tidak mengetahuinya, namun tetap terus ke stasiun menjemput majikannya setiap sore. meskipun tidak menemukan majikannya dia tetap datang lagi hampir selama sepuluh tahun sampai dia mati. Karena itu setiap tanggal 8 april di jepang dibuat patung Hachiko sebagai lambang kesetiaan yang diajarkan anjing kepada kita,”katanya
Tambah dia, anjing itu ternyata sudah melaksanakan 3B bersama, bersatu, bersaudara dan kesetiaan 3B nya sampai diakhir hayatnya. Tentu kita belajar bagaimana arti kesetiaan didalam membangun dan menjaga kebersamaan. Begitu juga dengan Qithmir, anjing yang menjaga Ashabul Kahfi, ia menjaga dalam kebersamaan, bersatu, bersaudara. Jadi ini paketnya dalam ikhtiar kita melakukan hal yang positif. Maka membangun karakter harus kita mulai dari mimdset dan culture set kita. Karena membangun kesetiaan harus dimulai dari membangun minset cara berfikir, bersikap dan cara berbudaya karena itu akan menjadi teladan.
“Pendidikan kesetiaan itu penting agar anak-anak tumbuh dalam ingatan kebaikan. Kesetiaan dalam membangun dan menjaga kebersamaan. Ini yang harus terus kita jaga dalam ikhtiar melakukan sesuatu yang positif. Pendidikan Kesetiaan itu harus dimulai dari mindset, cara berpikir, cara bersikap dan cara berbudaya,”katanya.
“Guru-guru hebat adalah guru-guru yang selalu diingat kebaikannya, ketika anak didik kita menjadi orang yang berhasil, yang paling diingat adalah gurunya. Kalau itu tidak terjadi di sekolah, maka kita gagal dalam mendidik kesetiaan dan memanusiakan manusia,”tambah dia.
Ia memaparkan, jika ujung dari segala teori dan ujung dari segala prestasi adalah manusia yang berkarakter. Manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk kepentingan kemanusiaan yang baik. Bukan kepentingan untuk menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.