Jakarta, sibernas.id – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menekankan bahwa tubuh pendek pada anak stunting berbeda dengan pendek yang diakibatkan oleh faktor genetik.
“Kalau orang secara genetik itu pendeknya beda dengan stunting. Jadi stunting itu sudah pasti pendek, tapi kalau pendek belum tentu stunting. Kemudian ada juga yang genetiknya pendek tapi cerdas, itu tidak stunting,” kata Hasto dalam Sosialisasi Bagi Para Penyuluh Agama dalam Percepatan Penurunan Stunting yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Hasto menjelaskan stunting tidak berkaitan dengan faktor genetik. Namun sebuah kondisi terjadinya gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak, akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu yang lama.
Hal lain yang menyebabkan anak terkena stunting adalah adanya infeksi dari penyakit yang berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau hingga anak berusia dua tahun.
Kondisi itu mampu membuat kecerdasan pada anak menjadi lebih rendah, tumbuh kembang anak yang tidak optimal dan meningkatnya risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa. Oleh karena itu, stunting merupakan ancaman pembangunan di masa depan karena berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
“Setiap anak itu punya bakat untuk memiliki tubuh yang tinggi dan bakat menjadi cerdas. Tapi karena terkena stunting akibat dari salah pola asuh dalam keluarga, jadi tidak tinggi dan kurang cerdas. Kami berharap stunting bisa dicegah agar bakat pada anak itu bisa kita lindungi,” katanya.
Dalam kesempatan itu Hasto mengingatkan jika 1.000 HPK menjadi waktu emas yang sangat penting, guna mencegah anak terkena stunting. Sebab pada masa itu, setiap sel dalam otak anak mengalami pertumbuhan yang luar biasa, sehingga baik asupan gizi, pola asuh dan lingkungan yang bersih harus dimaksimalkan oleh keluarga sebelum ubun-ubun tertutup.
“Kita sebenarnya dalam penurunan stunting memiliki tugas yang mulia sekaligus tantangan yang berat, karena targetnya harus menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024,” ujarnya.
Hasto turut menekankan bahwa mencegah terjadinya stunting, jauh lebih baik daripada mengatasi kasus stunting yang sudah ada. Ia mengatakan mencegah kelahiran bayi stunting sudah dapat dimulai sejak pasangan merencanakan kehamilan, salah satu caranya adalah dengan memeriksakan kondisi kesehatan sebelum menikah dan sebelum hamil.
BKKBN pun saat ini sedang menggencarkan pelaksanaan audit kasus stunting, kampanye pencegahan stunting, pemberian pendampingan bersama TPK, meresmikan kebijakan pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum menikah bersama Kemenag hingga pendirian Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat).
Bahkan yang terbaru, BKKBN mulai menggandeng tokoh dan penyuluh agama untuk menyebarkan edukasi mengenai stunting dalam tiap ceramah.
Jadi sebelum hamil dicek dulu dia sehat atau tidak itu jauh membuat kita lebih beruntung. Di Indonesia ini ada 2 juta yang menikah dan dari 2 juta itu, sebanyak 80 persennya hamil di tahun pertama, katanya.
“Oleh karena itu, saya bersama penyuluh agama di sini, sejak nikah sudah dikondisikan (semua calon ibu, ibu hamil dan ibu menyusui) sehat. Karena begitu dia hamil anaknya tidak stunting, itu penting untuk diperhatikan bersama,” ujarnya.