Kepala BKKBN: Untuk Dapat Bayi Cerdas Perempuan Harus Berlemak

  • Bagikan

Jakarta, sibernas.id – “Perempuan kalau tidak berlemak maka untuk hamil berat karena perkembangan otak itu substansinya lemak. Untuk dapat bayi cerdas perempuan harus berlemak.”

Hal itu ditegaskan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K), dalam Webinar Hari Gizi 2024 dengan judul “Dari Stunting Jadi Stunning” yang dilaksanakan melalui Live streaming Youtube Espos Live, Senin (22/01/2024).

“Perempuan itu diciptakan Tuhan sebagai makhluk berlemak. Perempuan ditakdirkan hamil dan mencukupi nutrisi janinnya. Tapi dilihat dari data Elsimil BKKBN, calon pengantin yang mau hamil tapi masih kurus masih 15% jumlahnya dan ini penting untuk dikendalikan. Ini termasuk ‘factor intermediate’ dalam upaya Percepatan Penurunan Stunting,“ tambahnya.

Dokter Hasto mengatakan, “Mereka yang mau menikah dalam 1 tahun ada 1,9 juta. Ini yang tercatat, belum yang nikah sirih. Dari 1,9 juta yang menikah, yang hamil di tahun pertama ada 1,6 juta. Data menunjukan, semua yang menikah 80% hamil di tahun pertama.”

Dokter Hasto mengatakan, hampir semua survey terkait fertilitas sama angkanya. “Bisa dibayangkan kalau stunting 21% dari yang menikah 1,9 juta, yang lahir tahun pertama 1,6 juta, maka 21%nya atau hampir 320.000 lahir stunting baru dari pasangan nikah,” urai dokter Hasto.

Menurut dokter Hasto,  pernikahan merupakan momentum yang  paling mudah dihadang (terkait pencegahan stunting) karena hanya dilakukan melalui satu pintu, yaitu KUA, gereja, dan organisasi keagamaan lainnya.

“Apabila diwajibkan, kita bersama Kemenag, Kemenkes dan Pemerintah Daerah mewajibkan yang mau menikah untuk diperiksa dan discreening.  Yang tidak sehat di ‘treatment’, maka kita bisa mencegah 320.000 anak stunting. Ini realistis bisa dihitung bersama,” ungkap dokter Hasto.

Menegaskan kembali, dokter Hasto berharap pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin (catin) wajib dilakukan sebelum pernikahan. Pemeriksaan  bisa dilaksanakan di puskesmas, puskesmas pembantu, klinik swasta, dokter atau bidan praktek swasta.

Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah kadar hemoglobin untuk mengetahui catin anemia atau tidak, berat badan, tinggi badan, status gizi, ukuran lingkar lengan atas, dan lingkar perut.

Apabila catin dinyatakan berisiko, mereka tetap boleh melangsungkan pernikahan tetapi akan didampingi oleh Tim Pendamping Keluarga (TPK) untuk diintervensi, diberi rekomendasi serta dimonitor status gizi sang istri sampai kondisi tubuh membaik dan ideal untuk hamil.

Faktor intermediate yang lain dalam upaya strategis penurunan stunting yaitu dengan KB pasca persalinan. Menurut dokter Hasto, banyak ibu setelah melahirkan ingin menunda memiliki anak kembali.

“Dalam setahun yang melahirkan 4,8 juta, tetapi yang langsung ber-KB hanya 38%. Padahal kalau orang habis melahirkan ditanya mau hamil atau tidak, jawabannya tidak. Ini tugas saya untuk membuat KB pasca persalinan sukses.”

Selain itu, ada faktor dekat yang harus menjadi perhatian yakni  pemberian ASI ekslusif dan  makanan tambahan MPASI. Ini, kata dokter Hasto, merupakan  upaya strategis penurunan stunting jangka pendek pada balita dan batita yang suboptimal asupannya atau malnutrition, dengan catatan tidak ada kelainan lain.

“Kalau hanya masalah penyakit dan ‘under nutrition, itu diatasi dengan factor spesifik sebaik-baiknya maka ini cepat terkoreksi, dengan catatan tidak ada ‘underline’ problem,” kata dokter Hasto.

Sementara terkait faktor jauh, dokter Hasto menambahkan bahwa hal itu terkait dengan   sanitasi, pendidikan, kemiskinan. Hasil dari perbaikan sanitasi, sebagai contoh, tidak dapat dilihat dalam waktu dekat tetapi butuh waktu.

Faktor itu termasuk factor sensitive yang memiliki pengaruh besar tetapi hasilnya lebih lama dibanding factor dekat dan intermediate.

Perubahan perilaku juga merupakan factor jauh.  Menurut dokter Hasto, perubahan perilaku  adalah ‘rootcost analysis, atau akar penyebab masalah. Perubahan perilaku dapat diatasi dengan edukasi.

Dokter Hasto optimis target 14% tercapai dengan upaya strategis yang telah dilakukan bersama seluruh pentahelix.

“Target 14% itu target antusias. Ada yang bilang ambisius, tetapi menurut saya antusias (bukan ambisius) karena ada semangat dari hati, ada nilai ketuhanan. Kita niatkan sebelum tawakal hasil akan lebih baik.”

Dokter Hasto mengatakan, target 14% prevalensi stunting di 2024 sebenarnya  jauh dari standar WHO yang menetapkan 20%. “Ukuran stunting tidak nasional, tapi menggunakan ukuran standar internasional,” tandas dokter Hasto.

Dokter Hasto juga mengingatkan bahwa yang pendek belum tentu stunting, tetapi stunting pasti pendek. “Jangan semua yang pendek di ‘adjust’ stunting. Itu belum tentu karena yang diperiksa itu baru pertumbuhan, belum  perkembangannya.”

Terkait hal itu, dokter Hasto menjelaskan bahwa menilai perkembangan tidak mudah, tetapi yang mudah menilai pertumbuhan seperti mengukur tinggi badan saja. “Maka, kita pakai tinggi badan saja,” tutupnya.

Hadir sebagai narasumber Dr. Yekti Widodo, SP, M.Kes, Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN; Eddy Henry, Head of Policy and Advocacy Tanoto Foundation; dr. Lovely Daisy, MKM, Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes; drg. Agus Suprapto, Mkes, Staf Ahli Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan  Bidang Pembangunan Berkelanjutan.

  • Bagikan