Kendari, sibernas.id – Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tenggara kembali menggelar Dzikir dan Doa bersama yang telah memasuki pekan ke-80 dirangkaikan dengan momentum Halal Bi Halal hari pertama masuk kerja pasca cuti bersama Idul Fitri 1444 H.
Dzikir dan doa bersama dipimpin secara virtual oleh Plt Kakanwil Kementerian Agama Prov. Sulawesi Tenggara H Zainal Mustamin, berlangsung di Masjid Amal Bakti Kanwil Kemenag Sultra, Rabu (26/4/2023).
Dzikir dan Doa bersama diikuti Kabag Tata Usaha H Muhamad Saleh, segenap pejabat administrator dan ASN, Ketua dan Pengurus DWP Kanwil Kemenag Sultra, 17 Kemenag Kab/Kota se Sultra, KUA, Penyuluh, Madrasah, Guru PAI, dan Pondok Pesantren se Sultra secara daring.
Dalam tausiyahnya Kakanwil mengatakan, Idul Fitri hakikatnya adalah kembali kepada Fitrah diri atau dengan kata lain Fitri itu adalah fitrah yang terpatri di dalam diri. Fitrah dalam istilah lain diartikan sebagai kekuatan terpendam berupa potensi, talenta, bakat atau pemberian dari Allah SWT yang ada dalam diri manusia.
Kakanwil kemudian mengutip firman Allah SWT dalam surah Ar Rum ayat 30 yang artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Dijelaskannya, kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa Allah SWT sudah memberikan fitrah atau kekuatan ke dalam dirinya sejak penciptaannya, dan dia tidak mampu menjaga fitrah itu dalam keberlangsungan hidupnya, dan manusia tidak menyadari jika ternyata dirinya keluar dari garis fitrah Allah SWT.
“Idul Fitri mengembalikan kita semuanya kepada suasana Fitri, suasana awal kesucian kita seperti bayi yang baru lahir. Allah SWT menjadikan Idul Fitri sebagai momentum untuk menikmati suasana kefitrahan. Orang yang sampai pada hakikat Fitri sudah pasti berhari raya Idul Fitri, sebaliknya yang berhari raya Idul Fitri belum tentu mencapai hakikat Fitri. Karena hakikat fitri ada pada kejernihan berpikir sekaligus kesucian hati,” ungkapnya.
Kakanwil menambahkan, Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya mengatakan, setiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitri hati dan pikirannya suci. Orang tuanyalah yang menjadikan dia keluar dari hakekat fitrinya keluar dari hakikat penciptaan dari Allah SWT dan menjadikan dia nasrani, majusi atau yahudi.
“Penciptaan Allah SWT itu bergeser karena pengaruh lingkungan. Lingkungan pertama itu keluarga dan lingkungan setelah keluarga itu adalah lingkungan pendidikan atau sekolah yang jadi pilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Lembaga-lembaga pendidikan tertentu akan menentukan apakah dia bisa terjaga fitrah penciptaannya, fitrah kesuciannya, kejernihan berpikir dan kejernihan hatinya sekaligus,” sambungnya.
Kakanwil mengatakan, beragama yang fitri itu bukan hanya menggunakan pikiran, karena pikiran bisa saja salah dalam menyimpulkan sesuatu meskipun sudah menggunakan alat dan metode yang baik dan canggih. Kesimpulan sebuah pikiran itu masih bisa salah dan keliru. Beragama juga bukan hanya sekedar menggunakan hati saja, karena hati bisa saja berpenyakit, mengeras, membatu, tertutup atau dikunci mati oleh Allah SWT.
“Mereka yang sampai pada hakikat fitri dalam beragama adalah mereka yang beragama dengan menggunakan kejernihan pikiran dan kebeningan hati. Orang yang sudah sampai pada titik ini, maka dia sampai pada hakikat kefitriannya. Tidak lagi mengulangi kesalahan yang sepadan yang sudah pernah dilakukan,” urainya.
Orang yang demikian lanjut Kakanwil, tidak lagi merasakan dendam yang terlalu mendalam. Pemaafannya kepada orang lain tulus dan tidak terputus. Urusannya dengan orang lain termasuk kepada orang yang berbeda agama, ras, golongan sudah selesai. Karena dia menganggap bahwa semua adalah ciptaan Allah SWT yang menjadi pembelajaran bagi kehidupan.
Orang yang mencapai hakikat fitri, akan menyikapi dengan tenang segala perbedaan yang ada, segala cobaan yang diberikan Tuhan. Karena memang fitrah manusia diciptakan Allah SWT itu berbeda tidak sama.
“Ramadhan mendidik kita untuk mengendalikan egoisasi menuju pribadi yang Fitri,” imbuhnya.
Firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 133 yang artinya “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
“Surga Allah itu sangat luas, disediakan bagi orang-orang yang taat kepada Allah SWT bukan untuk di kavling oleh hanya sekelompok orang yang memiliki ego, memiliki keserakahan sehingga kemudian dia membully temannya kemudian dia mengkafirkan, membid’ahkan orang lain. Lalu mengkafling surga itu hanya milik mereka, padahal Allah SWT mengatakan surga itu luas sekali,” ujarnya.
Kakanwil mengajak seluruh peserta dzikir untuk belajar dari filosofi buah mangga. Siapa yang ingin makan mangga, maka harus mengikuti kaidah, tata cara atau SOP makan mangga yang benar. Memakan buah mangga, kaidahnya yaitu kulitnya dikupas, isinya dimakan dan bijinya di tanam.
Kulit melindungi isi, maka penjaga atau pelindung tidak boleh dikorbankan. Seperti halnya di kantor ada atasan, anak memiliki orang tuanya sebagai pelindung. Di sekolah ada guru sebagai pelindung murid. Maka setiap bawahan, anak atau murid tidak boleh mengorbankan atasannya, orangtua atau gurunya.
Sementara para ahli fiqih atau ahli hukum mengatakan bahwa memakan kulit mangga hukumnya makruh. Karena kalau dimakan bisa jadi penyakit. Adapun para ahli tasawuf atau para sufi mengatakan bahwa kita tidak boleh makan kulit mangga karena masih ada mahluk lain yang akan memakan kulit mangga tersebut.
“Sebagai manusia yang fitri, yang berhak kita makan itu hanya isinya saja. Sementara bijinya adalah milik generasi penerus karena itu harus ditanam dan diinvestasikan semuanya bagi generasi yang akan datang,” paparnya.
Jika semua dimakan, namanya manusia ego dan serakah. Kalau ada orang yang makan semuanya itu, maka dia memiliki pribadi yang serakah dan dia belum sampai di hakikat fitri. Karena hakikat Fitri itu adalah suci, baik, benar, cinta, peduli dengan sesama, suka berbagi, taat dalam beribadah, suka belajar, rasa ingin tahunya tinggi. Itu fitrah manusia yang diciptakan dan diberikan oleh Tuhan, dan inilah yang di training selama bulan suci Ramadan supaya orang itu kembali kepada fitrahnya.
Tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Dan fitrah penciptaan adalah untuk beribadah. Maka hakikat Idul Fitri adalah mengembalikan manusia kepada jati dirinya yang asli yaitu pribadi yang bersih seperti baru lahir.
“Kita dikembalikan lagi seperti itu ke hakikat kita, dan harus kita jaga dalam 11 bulan ke depan agar supaya tidak dinodai tidak dikotori. Jangan sampai fitrahnya fitrah sesaat setelah Ramadhan, fitrah Idul Fitri. Setelah itu kita kembali lagi kepada sikap asli kita yaitu watak yang keras, suka menjatuhkan orang, membully, mengambil yang bukan hak kita, pelit, kikir, senang kalau melihat orang lain susah. Jangan sampai seperti itu,” harapnya.
Untuk itu, Kakanwil berharap agar seluruh peserta dzikir mengembalikan hakikat 3B agar semua kembali Bersama, Bersatu dan Bersaudara. Dapat melestarikan capaian taqwa yang diperoleh selama bulan suci Ramadhan dan melestarikan hati yang Fitri untuk 11 bulan ke depa.
“Agar selalu tumbuh etos kerja, etos belajar etos mengajar, etos melayani, etos menyuluh kepada masyarakat. Dan itu menjadi amunisi baru semangat baru di dalam balutan semangat kita untuk menggerakkan kembali, membumikan kembali gerakan Kemenag Sultra Bersahabat (Bersih, Religius, Santun, Harmonis, Berbasis Teknologi) yang kita bingkai dalam tagline 3B,” pungkasnya.
Diakhir kesempatan, Kakanwil menyempatkan diri menyapa seluruh peserta dzikir baik yang mengikuti secara luring maupun daring. Kakanwil juga berkesempatan mendengarkan yel-yel Kemenag Sultra Bersahabat MIN 2 Kolaka, Pontren Salafiyah Darul Hijrah Kec. Pondidaha, MTsN 4 Konsel, Kantor Kemenag Kota Kendari, Kantor Kemenag Kab. Buton Utara, KUA Kec. Pomalaa Kab. Kolaka, Kantor Kemenag Kab. Wakatobi, KUA Kec. Katobu Kab. Muna, MTsN 1 Buton dan Kanwil Kemenag Sultra.