Rukun Keluarga Moronene Meriahkan Pawai Taaruf dan Etno Religi Carnaval MTQ XXIX Sultra

  • Bagikan

Kendari, Sibernas.id – Rukun Keluarga Moronene (RKM) ikut memeriahkan Hari pawai taaruf dan etno religi carnaval dalam rangka MTQ XXIX Tingkat Provinsi Sultra yang digelar di Kendari, Rabu (10/8/22).

Kegiatan yang diikuti kafilah 17 Kabupaten kota, paguyuban, ormas lintas agama, dan barisan pelajar se Kota Kendari tersebut mengambil rute dari Masjid Alkautsar dan berakhir pada panggung kehormatan di Tugu Teligi Sultra.

Rombongan etno religi carnaval RKM Sultra tersebut berjumlah 33 orang dengan nomor dada atau nomor barisan 35 dengan mengenakan busana adat etnis Moronene, dan busana yang menggukan balutan tenun khas Bombana atau Moronene diantaranya motif Burisinita.

RKM Sultra yang berdiri sejak 1949 tersebut saat ini diketahui oleh Sitti Saleha yang merupakan Kepala Dinas Perindag Sultra.

Dalam berbagai moment atau kegiatan, Gubernur Sultra Ali Mazi kerap menyebutkan bahwa Sitti Saleha yang merupakan mantan Pj Bupati Bombana tersebut adalah “perempuan tangguh” dari tanah Moronene, karena kesuksesnnya menggelar berbagai kegiatan yang dititahkan Gubernur kepadanya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari beberapa sumber bahwa Suku Moronene merupakan suku yang kebanyakan mendiami wilayah Kabupaten Bombana dan Suku Moronene adalah salah satu suku besar yang terdapat di Sulawesi Tenggara.

Para pakar antropologi berkeyakinan bahwa orang Moronene ini adalah penghuni pertama wilayah ini (Sultra). Mereka tergolong suku bangsa Proto Malayan (Melayu Tua) yang datang dari Hindia, pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2 ribu tahun sebelum Masehi.

Namun sekitar abad 18, mereka tergusur oleh semakin berkembangnya penduduk atau suku lain yang juga menghuni wilayah ini.

Istilah “Moronene” berasal dari kata “moro” yang berarti “serupa” dan “nene” yang berarti “pohon resam”. Pohon Resam adalah sejenis tanaman paku (pakis), yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper.

Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang banyak kawasan sumber air.

Suku Moronene adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Namun sekitar abad 18, mereka tergusur oleh semakin berkembangnya penduduk atau suku lain yang juga menghuni wilayah ini.

Istilah “Moronene” berasal dari kata “moro” yang berarti “serupa” dan “nene” yang berarti “pohon resam”. Pohon Resam adalah sejenis tanaman paku (pakis), yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper.

Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang banyak kawasan sumber air.

Suku Moronene adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara termasuk Kota Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan keamanan sekitar tahun 1952-1953.

Dalam pergaulan sehari-hari dijumpai bahwa pada umumnya masyarakat suku Moronene itu peramah, menghormati yang tua dan suka menjalin persahabatan.

Beberapa istilah sopan santunnya antara lain Ampadea. berlaku sopan, contoh bila orang tua sedang berbicara, anak-anak tidak boleh ikut campur atau tidak ikut berbicara.

Setiap berkunjung ke Bombana, ada beberapa tempat menarik yang perlu dikunjungi. Salah satunya desa adat Hukaea Laea Kecamatan Lantari Jaya. Di desa ini, warganya masih memegang teguh adat istiadat.

Sesuatu yang unik di desa itu adalah sistem kekerabatan. Para wanita di Desa Hukaea ini diperbolehkan hanya bisa menikah dengan pria yang tinggal di lingkungan desa mereka.

Jika diketahui ada wanita yang menikah dengan pria dari luar Desa Adat Hukaea Laea, maka tidak diizinkan tinggal di kampung adat tersebut sehingga harus keluar kampung.

Namun anehnya, itu cuma berlaku bagi wanita. Sedangkan pria diberikan kebebasan untuk mencari wanita, baik yang berasal dari Desa Adat Hukaea Laea maupun yang berasal dari luar desa.

  • Bagikan